Hukrim

Ahli Hukum Pidana Unwira Kupang, Mikhael Veka : Berdasarkan Teori Seharusnya Albert Riwu Kore Bertanggung Jawab

608
×

Ahli Hukum Pidana Unwira Kupang, Mikhael Veka : Berdasarkan Teori Seharusnya Albert Riwu Kore Bertanggung Jawab

Sebarkan artikel ini
FOTO : Sidang Praperadilan BPR Christa terhadap Penyidik Polda NTT

# Sidang Praperadilan BPR Christa Jaya Terhadap Penyidik Polda NTT

TEROPONGNTT, KUPANG – Sidang lanjutan praperadilan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya terhadap penyidik Polda NTT kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kupang, Senin (7/2/2022). Kali ini, sidang praperadilan mengahadirkan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Veka, SH, MH sebagai saksi ahli.

Sidang praperadilan dipimpin hakim tunggal, Reza Tyrama, SH. Pihak BPR Christa Jaya selaku pemohon praperadilan diwakili kuasa hukum, Bildad Toeino M. Tonak, SH, dan Samuel David Adoe, SH. Sementara pihak Penyidik Polda NTT selaku termohon praperadilan diwakili tim kuasa hukum Polda NTT, AKP Anjasmara, Aipda Willy Roma dan Bripka Made Puspadi, serta seorang pengacara lainnya.

Dalam persidangan ini, saksi ahli Mikhael Veka menjelaskan tentang Teori Hukum Pidana dan Pertanggungjawabannya. Menurut Mikhael Veka, dalam hal pertanggungjawaban pidana, mengenai dapat atau tidak dapatnya seseorang dipidana, berhubungan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Menurut konsepnya, kata Mikhael Veka, pertanggungjawaban pidana mempunyai 2 (dua) unsur yaitu unsur kesalahan dan bentuk kesalahan. Unsur kesalahan terdiri dari beberapa hal antara lain: melakukan tindak pidana, kemampuan untuk bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur bentuk kesalahan meliputi kesengajaan atau kealpaan.

Mikhael Veka juga menjelaskan, salah satu yang harus dipenuhi dalam tindak pidana adalah unsur subjektifnya, yaitu tentang adanya kesalahan, dan ada dua macam kesalahan dalam kajian hukum pidana yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).

Dijelaskan Mikhael Veka, khusus mengenai Kesengajaan (Dolus), menurut Memorie van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettlijk) yang banyak dijumpai dalam pasal-pasal KUHP diartikan sama dengan willens en wetens yaitu sesuatu yang dikehendaki dan diketahui.  Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu; Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn), dan Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kata Mikhael Veka, adalah bentuk kesengajaan yang menghendaki pelaku untuk mewujudkan suatu perbuatan, menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan suatu kewajiban hukum, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu. Sehingga pada saat seseorang melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dikehendakinya, menyadari bahwa akibat tersebut pasti atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang telah dilakukan, orang dapat mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai kesengajaan sebagai maksud.

Sementara kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn), adalah bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan. Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki.

Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis), adalah suatu kesadaran untuk melakukan perbuatan yang telah diketahuinya bahwa akibat lain yang mungkin akan timbul dari perbuatan itu yang tidak ia inginkan dari perbuatannya, namun si pembuat tidak membatalkan niat untuk melakukannya. Dalam dolus ini dikenal teori “apa boleh buat” bahwa sesungguhnya akibat dari keadaan yang diketahui kemungkinan akan terjadi, tidak disetujui tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud resiko akan timbulnya akibat atau disamping maksud itupun diterima.

Sementara Kealpaan (Culpa), jelas Mikhael Veka, disamakan dengan kelalaian dan kekuranghati-hatian. Kealpaan (culpa) didefinisikan sebagai kesalahan pada umumnya, namun dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan yang disebabkan dari kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.

Dalam kasus laporan pemohon BPR Christa Jaya terhadap Notaries/PPAT Albert Riwu Kore, menurut Mikhael Veka, telah memenuhi minimal dua alat bukti sesuai teori hukum pidana tersebut. Sehingga terlapor Albert Riwu Kore seharusnya bertanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai Notaries/PPAT.

Pernyataan ini disampaikan saksi ahli Mikhael Veka, menjawab pertanyaan kuasa hukum BPR Christa Jaya, Bildad Toeino M. Tonak, SH, dan Samuel David Adoe, SH mengenai keterangan saksi sebelumnya bersama Tinus Bureni dari Kanwil Kenkumham NTT bahwa berkas sertifikat seharusnya disimpan dalam lemari besi dan dalam penguasaan Albert Riwu Kore sebagai Notaris/PPAT

Karena menurut Mikhael Veka, obyek yang disengketakan dalam laporan pidana tersebut adalah 9 sertifikat yang belum diserahkan kepada BPR Christa Jaya. Dimana, obyek yang disengketakan berada dalam penguasaan terlapor yakni Albert Riwu Kore sebagai Notaris/PPAT. Sehingga pihak BPR Christa Jaya sebagai pelapor menjadi dirugikan hingga saat ini.

Mengenai penerbitan SP3 oleh Penyidik Polda NTT dengan alasan tidak memiliki bukti yang  cukup, menurut Mikhael Veka, dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.  Bahkan satu saksi dapat dibenarkan kalau didukung dengan alat bukti yang lain.

Dikatakan Mikhael Veka, alat bukti dalam kasus pidana tidak bisa dinilai secara parsial tapi harus dinilai secara keseluruhan. Harus ada keterkaitan dengan alat bukti yang lain.

Meski demikian, kata Mikael Veka, dirinya hanya menjelaskan kasus ini berdasarkan teori hukum pidana dan pertanggung jawabannya. Hakimlah yang akan melihat kasus ini secara lebih jeli dan menilainnya berdasarkan fakta persidangan. Apakah dalam penyidikan kasus tersebut sudah memenuhi dua alat bukti ataukah belum.

Sementara Tim Kuasa Hukum BPR Christa Jaya, Bildad Toeino M. Tonak, SH, dan Samuel David Adoe, SH, kepada wartawan mengatakan, pihaknya sudah berkonsultasi dengan Mabes Polri terkait pengusutan kasus dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 374 KUHP Jo pasal 52 Jo pasal 372 KUHP dengan terlapor Notaris/PPAT, Albert Wilson Riwu Kore.

Sidang praperadilan ini akan dilanjutkan, Selasa (8/2/2022) dengan agenda kesimpulan dari kedua pihak yakni pemohon praperadilan BPR Christa Jaya dan Termohon Praperadilan Penyidik Polda NTT. Sementara putusan perkara praperadilan akan dibacakan Hakim PN Kupang pada siding yang digelar, Rabu (9/2/2022).

(max)

Comment